Sohib Solutif, kisah ini dinukil dari Kitab Manakib Imam Ahmad. Pada akhir masa hidupnya, Imam Ahmad ibnu Hambal Rah sempat menceritakan keinginan dadakannya untuk pergi ke sebuah kota di Irak. Namun alasannya apa, beliau sendiri tidak paham. Tidak ada janji dengan orang atau acara yang perlu didatangi, tiba-tiba saja keinginan itu hadir.
Singkat cerita, berangkatlah Imam Ahmad ke Kota Bashrah. Tiba di sana sewaktu Isya. “Saya ikut salat berjamaah di masjid. Kemudian, saya ingin istirahat,” kisahnya.
Mendadak, marbot masjid tersebut mendatanginya sambil bertanya dengan tegas, “Anda sedang apa di sini, Syekh?”
Orang ini sebenarnya tidak tahu bahwa yang ditanyai adalah seorang imam besar dan ulama ahli hadis. Meskipun nama Imam Ahmad, atau lebih populer dengan nama Imam Hambali, sudah sangat terkenal di Irak. Namun karena zaman itu belum ada foto, televisi, apalagi YouTube, tentu wajar bila sebagian orang hanya mengenal tokoh dari namanya, bukan wajahnya.
Di jazirah Arab, panggilan “syekh” sendiri bisa ditujukan untuk tiga golongan: orang tua, orang kaya, atau orang berilmu (alim). Lantaran tidak kenal, dan ImamAhmad pun tidak memperkenalkan dirinya, marbot tersebut pasti memanggilnya syekh sekadar sebagai penghormatan untuk orang tua.
“Saya hanya ingin beristirahat di sini. Saya musafir,” jawab Imam Hambali.
“Tidak bisa!” Wajah marbot itu menegang. “Tidak boleh tidur di masjid!”
Imam Ahmad pun didorong-dorong oleh orang itu. Disuruh keluar dari masjid. Setelah keluar, dia mengunci pintu masjid. Murid dari Imam Syafi’i itu tidak kekurangan akal. Beliau lalu tidur di terasnya.
Namun, baru saja membaringkan tubuhnya di lantai teras, marbot itu kembali menghampiri. “Mau apa lagi, Syekh?” tanyanya tidak ramah.
“Tidur di sini. Saya musafir,” ulang Imam Ahmad.
“Di sini juga tidak boleh, Syekh!” Orang itu kembali mengusir Imam Ahmad, kali ini sampai ke jalan.
“Tapi saya hanya butuh istirahat sebentar….”
Protes itu tidak digubris oleh sang marbot.
Namun tak jauh dari sana, tepat di samping masjid, ternyata ada seorang penjual roti yang memperhatikan kejadian tersebut. Dia melambai, “Syekh! Mari sini, Anda boleh beristirahat di tempat saya. Saya punya tempat, meskipun tidak besar....”
Imam Ahmad pun menerima kebaikan tersebut. Beliau masuk ke rumah kecil yang sekaligus sebagai tempat pembuatan roti itu.
Beliau duduk di belakang sang penjual roti yang sibuk membuat roti. Sambil bercakap-cakap untuk sopan santun.
Yang unik, penjual roti ini kalau diajak bicara, dia akan menjawab sambil mengolah rotinya. Namun kalau tidak ada pembicaraan, mulutnya terus berkomat-kamit, “Astaghfirullahal adzim… astaghfirullah….”
Imam Ahmad akhirnya tidak mampu membendung rasa penasarannya. Beliau pun menanyakan mengapa penjual roti itu terus mengucap istigfar. “Sudah berapa lama kamu lakukan ini?”
“Saya jualan roti sudah 30 tahun, Syekh. Rasanya, sejak itu, saya terus lakukan.”
“Apa manfaat dari perbuatanmu ini?”
Si pembuat roti menjawab, “Lantaran wasilah istigfar, Syekh, semua hajat yang saya minta selalu diwujudkan oleh Allah....”
Imam Ahmad ternganga.
Namun sebelum beliau mengucap sesuatu, penjual roti itu menyambung perkataannya. “Semua, kecuali satu! Masih ada satu hajat saya yang belum Allah kabulkan.”
Imam Ahmad berkerut dahi. “Apa itu?”
“Saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad. Tapi itu sampai sekarang belum terwujud.”
Spontan, Imam Ahmad mengucap takbir. “Allah telah mendatangkan saya jauh-jauh dari Baghdad ke Bashrah, bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu dan menuju kemari…”
Penjual roti itu terperanjat, “Antum… Imam… Ahmad?”
“… ternyata, karena istigfarmu!”
“Masyaallah,” pembuat roti itu langsung memeluk dan mencium tangan Imam Ahmad.
Demikianlah, Sohib Solutif. Istigfar yang diucapkan dengan penuh penghayatan ternyata selain mampu mengikis dosa-dosa kita, juga bisa mendatangkan rezeki, dan mewujudkan hajat-hajat kita.
- Penulis: Karina