Semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya muslim, yahudi, nasrani, atau majusi. Orang tuanyalah yang membentuknya akan menjadi orang seperti apa melalui pendidikan di rumah masing-masing.
Pertanyaannya sekarang, Sohib Solutif, mau kita arahkan ke mana sang anak ini? Kita poles dengan tuntutan zaman dan obsesi kita? Atau kita kembalikan ke fitrahnya?
Sekadar contoh, Anak secara alami tidak suka najis. Wajarlah bila seorang bayi menangis ketika akan, sedang, dan setelah buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK). Namun lucunya, kita lalu memberinya diaper. Jadi si anak merasa tenang-tenang saja setelah BAB atau BAK.
Padahal, najis tetaplah najis. Dan itu bertumpuk di kulit bayi kita dalam waktu yang cukup lama! Hiii…
Jangan biasakan, ya, Sohib Solutif. Gunakan diaper hanya dalam kondisi darurat. Jangan karena kita malas mengganti popok (kain) dan menceboki, diaper dijadikan solusi. Selain biaya jadi mahal dan melawan fitrah anak yang tidak suka najis, itu juga akan membuat si buah hati kurang terampil dalam mengekspresikan kebutuhan alaminya untuk buang air.
Anak, secara naluriah, juga terbiasa aktif. Apalagi usia satu tahun ke atas. Rasa penasarannya tinggi sekali. Dia tidak bisa diam, selalu mengoceh, lari ke sana kemari. Namun orang tuanya lalu memberinya televisi atau gawai untuk membuatnya diam.
Itu bisa jadi terjadi setiap hari, Sohib Solutif. Sehingga, cepat atau lambat, anak yang aktif menjadi anak yang pasif dan pemalas. Naudzubillah, rugilah kita sebagai orang tua, rugilah si anak.
Secara fitrah, anak membenci kekerasan. Dia akan menangis bila melihat orang mengasari atau menganiaya orang lain. Namun orang tuanya terus “menerapinya” dengan sajian adegan-adegan kekerasan, baik melalui kata-kata maupun tindakan. Baik melalui televisi, film, maupun kejadian langsung di depan matanya.
Jangan heran kalau fitrah anak yang awalnya tidak suka kekerasan akhirnya mejadi kebal, berganti pribadi beringas yang menoleransi aksi-aksi kekerasan di lingkungan sekitarnya.
Anak pada dasarnya ingin selalu bermain, terutama yang berusia tujuh tahun ke bawah. Namun lantaran orang tuanya ingin buah hatinya cepat pintar, masa main-main itu dengan tega harus didiskon. Di usia yang dini, sang anak dikursuskan menyanyi, piano, membaca-menulis-menghitung (calistung), termasuk jaritmatika, bahasa Inggris, dan sebagainya.
Padahal, apa gunanya anak pintar dan bisa ini-itu kalau dia gagal menemukan nikmatnya proses belajar? Apa gunanya dia bisa membaca kalau kelak tidak gemar membaca?
Ingat, tak peduli seberapa banyak lembaga-lembaga kursus calistung beterbaran, tak peduli sudah berapa banyak Play Group (PG), Kelompok Bermain (KB), dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia, negara kita tercinta ini tetap terpuruk sebagai papan bawah dalam urusan minat baca.
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 5-6 September 2015, orang Indonesia hanya membaca buku rata-rata enam jam setiap minggunya. Bandingkan dengan orang India yang rata-rata membaca selama 10 jam tiap pekan, atau Thailand yang sembilan jam, dan Cina yang delapan jam per minggu.
Sementara data UNESCO 2012, dikutip Kompas 4 Februari 2016, menyebutkan bahwa hanya satu di antara 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca serius. Rata-rata, orang kita hanya membaca kurang dari satu buku setiap tahun, Sohib Solutif!
Maka sudahlah, kembalilah menengok fitrah anak. Yang terpenting bukan menjadi cepat-cepat pintar. Tetapi bagaimana menanamkan akhlak, etika, juga membiasakan menjadi pribadi pembelajar yang merasa nikmat untuk terus belajar. Contohlah bagaimana mendidik anak dari negara-negara maju seperti Finlandia, Jepang, dan sebagainya.
Kuncinya, biarlah anak berkembang sesuai fitrah. Fitrah yang alami dan ilahi.
- Penulis: Karina