Sejak dulu, Indonesia berpotensi mengalami kebanjiran dari tahun ke tahun, terutama daerah pesisirnya. Para leluhur kita mengantisipasi gejala alam ini dengan mendesain rumah terapung. Konsepnya mirip dengan antisipasi yang dilakukan Nabi Nuh sebelum banjir besar. Hanya, ini skalanya kecil.
Kalau Sohib Solutif mau melihat bentuk rumah-rumah terapung itu, datang saja ke Kalimantan Selatan. Kita tahu, banyak daerah rawa-rawa di sana. Ketinggian tanahnya pun di bawah permukaan laut.
Tak pelak, masyarakat Kalimantan begitu akrab dengan perahu, kapal, sungai, termasuk rumah terapung yang orang setempat menamakannya rumah lanting.
Susurilah Sungai Barito dari Banjarmasin menuju Puruk Cahu, Anda akan menemukan desa-desa dengan pemandangan jajaran rumah-rumah semacam itu. Rumah lanting bukan sekadar rumah di atas air dengan kaki-kaki kayu sebagai penyangga (pondasi), tetapi benar-benar rumahnya mengapung di air.
Tinggal di rumah lanting tak ubahnya naik kapal saja. Atau jika Anda pernah mendatangi wisata pasar terapung, misalnya di Lembang Bandung, Batu, atau beberapa tempat lain, begitulah sensasinya kurang-lebih.
Rumah lanting biasanya menghadap daratan. Di dalamnya minimal terdiri dari ruang publik dan ruang privat. Ada dua pintu (lawang), masing-masing menghadap ke darat dan ke sungai. Di depan lawang, terdapat jembatan (titian) yang menghubungkan rumah lanting dengan daratan.
Selain sebagai tempat tinggal, ada juga lanting yang khusus difungsikan sebagai masjid, musala, hotel, sekolah, toko kelontong, kamar mandi, toilet (dengan lubang yang langsung menuju sungai), tempat mencuci pakaian, kios SPBU, rumah makan, pasar, dan segenap kebutuhan peradaban lainnya.
Asyik, ya, Sohib Solutif?
Apalagi rumah lanting pasti antibanjir. Ketika rumah-rumah normal terendam air bah, rumah lanting tidak terganggu. Kita akan selalu terapung di atas permukaan air.
Namun, hati-hati bagi yang suka mabuk laut. Setiap waktu, rumah ini bergoyang-goyang, lho. Sewaktu-waktu perahu yang agak besar melintas di dekatnya, rumah lanting akan terombang-ambing. Rumah lanting sendiri umumnya terletak di sungai-sungai besar yang merupakan jalur lalu lintas utama.
Kondisinya pun dipengaruhi oleh pasang-surut sungai atau laut. Ketika sungai sedang surut, pemilik lanting harus mendorong rumahnya ke tengah agar tidak terdampar di tepi sungai.
Sebab, biasanya kalau sudah terdampar, lantainya kemungkinan besar akan miring. Piring-gelas bisa jatuh. Kita salat pun bisa menggelundung karena tidak imbang.
Sedangkan ketika air sungai pasang, penghuni lanting harus memasang tali tambatan ekstra, agar lantingnya tidak hanyut terbawa arus. Ribet, pokoknya.
Selain itu, penampilannya cenderung kumuh, sanitasinya seadanya, dan tata letaknya tidak beraturan. Hal ini membuat pemerintah kabupaten mengupayakan penataan rumah-rumah lanting di wilayahnya.
Dengan segenap kekurangan ini, wajar bila rumah lanting semakin sulit kita temui. Bukan mustahil suatu saat nanti rumah yang eksotik ini akan tinggal cerita. Kecuali bila ada upaya serius pemerintah dalam mengemas “warisan budaya” ini dengan lebih mempertimbangkan aspek lingkungan dan estetika. Semoga.
- Penulis: Brahmanto Abu Hanifa
- Sumber foto: Blog Muhammad Irhammi