“Better done than perfect,” orang bijak bilang. Lebih baik menyelesaikan pekerjaan tepat waktu daripada mengerjakannya dengan sempurna (tetapi tidak selesai tepat waktu).
Bayangkan, seorang guru menyuruh muridnya mengumpulkan tugas pada 5 Januari. Ada murid yang mengerjakannya dengan rapi, bagus, sempurna, tetapi dia mengumpulkannya tanggal 7 Januari. Ada mahasiswa yang mengerjakannya dengan standar-standar saja, tetapi dia mengumpulkannya tepat pada 5 Januari.
Murid yang mana yang kira-kira akan mendapatkan nilai?
Tentu saja murid yang kedua! Murid yang pertama terlalu perfeksionis. Dia, dalam contoh kasus ini, seperti orang serakah yang menginginkan segalanya. Namun akhirnya, dia tidak memperoleh apa-apa.
Menjadi seorang perfeksionis membutuhkan waktu, tenaga, dan uang yang lebih banyak. Kalau memang kita punya waktu, tenaga, dan uang, bagus! Teruskan saja.
Namun, kalau tidak (dan seringnya kita memang tidak punya)? Kebiasaan perfeksionis justru kerap membuat kita boros. Boros waktu, boros tenaga, juga boros uang.
Maka bila ingin hidup hemat, kuncinya sederhana: jauhi sifat perfeksionis. Manusia itu tidak sempurna. Memaksa diri untuk menjadi sempurna seringnya hanya akan mengantarkan kita pada kesia-siaan. Kita hanya akan memboroskan sumber daya yang berharga.
Contoh lain, ketika kita mengisi air bak mandi. Maunya sampai penuh, sehingga nanti kalau mau mandi atau buang air tinggal enak, stok air tersedia berlimpah. Lagi pula, siapa tahu nanti air PDAM tidak mengucur karena faktor tertentu. Jadi menampung air sebanyak-banyaknya mungkin terlihat bijak.
Sayang, kita tidak konsisten dengan tindakan itu. Alih-alih menungguinya hingga penuh, kita malah meninggalkan bak mandi itu dengan keran terbuka. Kita tinggal main, bekerja, makan, nonton televisi, atau lainnya.
Tak terasa waktu berjalan. Ternyata, kita lupa (karena kita tidak sempurna). Kita baru ingat bak mandi sedang diisi dan kerannya belum dimatikan. Banjirlah kamar mandi. Air bersih pun terbuang sia-sia.
Demikian pula di pom bensin. Kita mau mengisi bensin motor full tank. Mumpung ada duit, kita bilang ke petugas SPBU-nya, "Isi 50 ribu, Mas!" Sekalian, pikir kita. Biar tidak perlu bolak-balik ke SPBU.
Ternyata, angka di mesin baru menunjukkan Rp40.000, tangki sudah penuh. Namun lantaran sudah membayar 50.000, kita tetap meminta petugasnya terus mengisi. Tangkinya sampai kita miring-miringkan supaya kucuran bensin itu tetap bisa tertampung. Tentu, tangki motor akhirnya meluber. Memang sudah penuh, kok!
Begitulah. Gara-gara hasrat untuk sempurna, kita malah melakukan pemborosan demi pemborosan. Bukankah lebih arif bila kita mengisi bensin cukup 30.000. Tak apalah masih ada ruang kosong di tangki kita. Yang penting, tidak ada yang mubazir.
Tidak sekadar boros, ada kalanya juga sikap ingin sempurna membuat kita kehilangan segalanya. Dalam pekerjaan, umpamanya. Calon klien ingin kita mengirim contoh produk sore ini.
Namun karena kita perfeksionis, kita utak-atik terus prototipe produk itu. Sampai masa yang dijanjikan terlewat. Kita baru mengirimkannya malam hari. Padahal, saat itu calon klien sudah pulang dari kantornya. Atau sudah kehilangan mood. Kita pun kehilangan pembeli.
Sempurna itu bagus. Sangat bagus, malah. Tetapi lihat-lihat dulu situasinya. Lihat-lihat juga kemampuan kita. Bijaklah. Ada risiko pemborosan yang besar saat kita menuntut segalanya sempurna. Bisa pemborosan waktu, tenaga, atau uang. Buktikan sendiri.
- Penulis: Brahmanto Abu Hanifa